Subscribe:

pulsa

Jumat, 09 Mei 2014

Tentang rindu yang membosankan

Sejujurnya aku benci menuliskan ini
Ini terlalu membosankan kau tau
Lagi-lagi tentang rindu
Rindu begitu sering di kisahkan para penyair
Dan aku bosan dengan itu
Tapi sepertinya karma mengenaiku
Rindu itu terjadi padaku
Sayangnya rindu ini terlalu aneh
Ya setidaknya menurutku
Kau tau, rindu biasanya membutuhkan objek untuk dirindu
Tapi objekku sepertinya tidak lagi layak disebut seperti itu
Mungkin begitu yang akan dikatakan guru bahasa di sekolah
Aku tidak pernah tau dan aku tidak mau tau
Apa sebelumnya rindu ini sudah menjadi hal biasa
Atau hanya rindu yang langka terasa
Lagi-lagi aku tak tau
Kau mulai bosan ya?
Sepertinya aku mulai meracau lagi
Aku rindu
Kau tau, semoga ini tidak membuatmu kesal menunggu tulisanku
Aku rindu pada sesuatu yang sebelumnya belum pernah ku tau
Setidaknya menurutku
Aku rindu
Aku rasa aku memang merindu
Aku merindu untuk jatuh cinta
Jangan tertawa!!!
Aku tidak memintamu untuk itu
Aku memang merindu
Merindu rasakan getaran
Merindu tersipu malu
Atau bahkan merindu untuk sekedar menghayalkan keinginan lugu
Aku merindu
Merindu berdetak ketika dia yang dicinta berada disekitaran
Merindu cemburu ketika sang pujaan bertingkah diluar yang dimaui
Atau bahkan merindu tersenyum tanpa alasan
Aku sedang merindu
Merindu untuk kembali lagi jatuh cinta
Merindu untuk tau kembali pada rasa yang sama dulu
Ya, dulu.
Terlalu lama untuk tau kembali, bagaimana jatuh cinta terjadi padaku
Dulu
Ah, Aku benar-benar merindu
Semoga bukan rindu palsu

Resensi buku kumpulan cerpen "IMPIAN DI TEPI BAKARO"

Oleh: Citra Rizky Handayani

Cerita pendek atau cerpen merupakan bacaan yang menarik dan tentu saja cocok untuk semua kalangan. Dengan ciri khas penggunaan bahasa yang kebanyakan ringan untuk dibaca dan cerita yang tentu saja tidak berbelit-belit sangat menarik bagi para pecinta karya sastra. Selayaknya buku kumpulan cerpen yang lain, kumpulan cerpen Manokwari ini berisikan berbagai ragam cerita pendek yang menggunakan tema besar yaitu tentang cinta. Buku kumpulan cerpen pertama di Manokwari ini hasil dari lomba menulis cerpen dengan tema “Cinta di Manokwari” yang diselenggarakan oleh Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Papua Barat. Lomba ini diikuti oleh berbagai kalangan penulis muda terutama pelajar dan mahasiswa di lingkungan Manokwari. Dengan menggunakan nama kota tercinta yang terletak di kepala burung pulau yang indah Papua yaitu Manokwari, tentu saja sangat menarik perhatian saya sebagai “anak Manokwari” untuk membaca buku ini.


“Obet…!!! Ko cepat bangun sudah, sebelum bapa siram ko dengan air got!”

Sepotong percakapan di cerpen pembuka dalam buku ini yang berjudul “Cita-cita Kecil untuk Bapa dan Mama” sangat meggambarkan bahwa buku ini tentu saja mempunyai “rasa” yang sangat Papua. Penggunaan kalimat sa, ko, tong, iyo, panipu, trada, dan berbagai percakapan yang tidak asing di telinga saya menjadikan kumpulan cerpen ini begitu menarik untuk diikuti. Setiap percakapan dalam empatbelas cerita di kumcer ini tidak terlepas dari penggunaan dialek atau logat Papua yang begitu sering digunakan di kehidupan sehari-hari, sehingga membuat setiap cerita dari buku ini begitu menyenangkan untuk dibaca. Penggunaan latar tempat yang juga tidak asing lagi seperti Pantai Bakaro yang terdapat dalam cerita “Impian di tepi Bakaro”, Hadi Mall dan KFC Manokwari dalam cerita “Yakobus”, Metro cafe dalam “Cinta Suzy”, dan juga Prafi dalam “Kenapa Trada Kereta deng Delman e..”, termasuk juga setting tempat bertema sekolah seperti SMA Negeri 1, SMP Negeri 3, Universitas Papua (UNIPA) mampu membawa pembaca untuk masuk ke dalam setiap cerita dalam buku ini dengan lebih mudah.

Berlatar dari tema cinta, kumpulan cerpen ini mengangkat beragam kisah senang, haru, lucu dengan sangat menarik. Cerita “Cinta Suzy” dan “Parfum Fantasy” mengangkat tentang cinta di kalangan anak ABG, cerita cinta monyet tentang Suzy dan Fauzy dan juga Vero dan Berto begitu ringan mengalir dan sederhana untuk diikuti ala anak remaja yang notabene menggemari serial teenlit. Selain cerita cinta remaja, kisah cinta yang lain juga ada dalam buku ini. Seperti kasih sayang seorang dosen bernama Oliv kepada mahasiswanya dalam “Sepotong Cinta buat Ma’am Oliv” dan kasih seorang ibu kepada anak-anaknya sekalipun anak tersebut tidak menuruti perintahnya dalam cerita “Kasih Ibu” turut memberikan warna cerita buku ini. Tidak jauh dari lingkup besar tema cinta, cerita “Pensil dan Penghapus untuk Nia” mengingatkan kita pada musibah di Wasior yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Dikemas dalam cerita yang menarik tentang bangkit kembalinya Nia yang sebatang kara dengan dukungan dari orang-orang baru di sekitarnya sehingga mampu kembali berdiri dan meraih cita mampu membuat saya ikut terbawa suasana haru cerita.

Cerita “Impian di tepi Bakaro” yang menjadi judul dari buku ini adalah cerita favorit saya, dengan gaya bahasa yang baik, penulis menceritakan tentang kisah mimpi Eva dan Yoel – seorang anak Doreri - yang mencatatkan mimpinya di tepi Bakaro. Berjanji untuk meraih kesuksesan, Yoel yang akhirnya mengambil studi di luar Manokwari pun harus berpisah dari Eva dengan janji sederhana membawakan Eva sepasang sepatu ketika kembali nanti. Hingga Yoel pun kembali ketika sudah sukses dan telah mengunjungi beberapa negara kemudian bertemu dengan Eva yang tidak disangka juga telah meraih kesuksesan dan melakukan kegiatan mulia yaitu mengabdi di Manokwari untuk membantu meraih cita-cita anak Doreri yang lain. Ending dari cerita yang sedikit tidak disangka membuat cerita ini semakin menarik untuk dibaca berulang-ulang.

Selain beberapa cerita diatas, cerita lain dalam buku ini juga menarik untuk dibaca berulang kali. Kisah Yakobus yang lucu dalam mencari kekasih, kisah si kembar Dina dan Dini dalam perjuangan menggapai cita-cita, “Cinta Segi Empat Mince” dengan bumbu MOP yang segar, kisah haru dalam ”Asa di Ujung Senja” yang berdasarkan cerita nyata, dan cerita lainnya dengan warna yang berbeda-beda. Banyak makna dari cerita dalam buku ini yang bias dijadikan pelajaran seperti mengenai perjuangan meraih mimpi, pengabdian, bagaimana sikap untuk saling menghargai antar manusia dan tentu saja kebanggaan terhadap Kota Manokwari tercinta.

Kekurangan dari buku ini adalah sedikitnya dilampirkan keterangan dari penggunaan dialek Papua dalam setiap cerita, sehingga bagi mereka yang belum atau tidak terbiasa dengan percakapan itu akan sedikit kesulitan untuk memahami dan mengikuti cerita. Harapannya adalah buku mendatang nantinya dapat diberikan keterangan atau arti dari penggunaan kata “lokal” agar buku ini mampu juga menjadi santapan untuk semua kalangan dari semua daerah dengan tidak menghilangkan “rasa” Papua.

Buku ini sangat saya sarankan untuk dimiliki semua kalangan, terutama bagi pecinta karya sastra di Manokwari, pejabat pemerintah, dan seluruh warga yang ada maupun pernah tinggal di Manokwari. Sebagai salah satu bentuk dukungan kepada bakat-bakat menulis dari putra dan putri Papua. Anak Manokwari yang mungkin sedang meraih mimpi di luar Manokwari pun sangat disarankan untuk memiliki buku ini sebagai sarana melepaskan rindu kepada kota tercinta kita. Juga seluruh kalangan yang ingin mengetahui kota Manokwari dan juga Papua (Barat) pada umumnya dari sisi yang berbeda.

Sukses terus untuk seluruh penulis putra dan putri Manokwari!