Assalamu’alaykum wr. wb..
Salam..
Hai, Ibu Guru Yeni, Ibu Guru Lidya, Ibu Guru Cahaya, Ibu
Guru Nia, Bapa Guru Pascal, Bapa Guru Angga, Bapa Guru Dwi, Bapa Guru Fadli.
Bapa dan Ibu guru kesayangan murid-muridnya. Tidak ada maksud menulis surat
panjang ini selain ingin berbagi cerita.
Bagaimana rasanya dipanggil Ibu?
Ibu guru? Bapa? Bapa guru? Pasti menyenangkan sekali, bisa bertemu dan
bercerita banyak hal di antara anak-anak. Mengajar dan bersenang-senang,
bermain, tertawa. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari bertemu anak-anak dan
mengajar. Setiap hari akan teringat betul dengan setiap tingkah lucu
murid-murid kalian, yang pendiam, yang hiperaktif, yang pemalu, yang pemberani
dan segala macam sifat yang melekat secara alami pada diri mereka. Diri-diri polos
yang belum tersentuh berbagai permasalahan yang memusingkan, kadang membuat
penat. Jiwa-jiwa yang lebih memilih untuk selalu mengikuti kemana kaki mereka
melangkah, kemana hati mereka membawa. Anak-anak tetap saja anak-anak, senakal
apapun mereka tetap saja mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak bisa berhenti
memberikan sebuah kenyamanan, ketenangan dan kebahagiaan. Senyum mereka menjadi
obat mujarab dalam menghadapai kepenatan hidup akan rutinitas.
Ah, ya maaf saya langsung saja
berceloteh panjang lebar tanpa memperkenalkan diri. Mungkin setelah membaca ini,
kalian akan mencari tau yang mana sih dede? rajin banget ngerjain orang dengan
nulis surat sepanjang ini. Haha. Maafkan saya. Perkenalkan nama saya dede,
sebenarnya nama asli saya citra rizky handayani tapi keluarga dan banyak teman
saya lebih senang memanggil dede dengan pelafalan sesuka mereka tapi tidak
masalah juga kalau dipanggil citra. Orangtua saya mempunyai darah Jawa itu
berarti saya pun secara tidak langsung teraliri itu. Tapi, saya lebih suka
mengatakan kalau saya anak Papua. Dilahirkan, dibesarkan, dan disekolahkan sejak
SD sampai SMA di kabupaten Manokwari membawa jiwa saya jauh mencintai tanah
yang hebat ini. Papua. Tidak peduli kulit saya putih, pun tidak masalah dengan
rambut saya yang lurus. Tetap saja, Aku Papua. Saya yakin, kawan-kawan lain pun
banyak yang seperti saya. Mencintai tanah cendrawasih ini dengan hati yang
benar-benar tulus. Meski kadang stempel “pendatang” masih sering menempel di
diri kami. Tapi saya pribadi tidak peduli soal itu, karena yang saya tau
kampung halaman saya ya disini di papua. J
Saya jadi ngelantur gini. Kembali saja lagi. Diantara kita ada yang seumuran
tapi ada juga yang lebih senior (read: takut ngomong tua :p) dari saya. Jadi sebelumnya
mohon maaf kalau suratnya sedikit tidak sopan sebagai junior. Hehe..
Sejujurnya saya bingung memulai
surat ini dari mana (padahal sudah 3 paragraf :p), terlalu banyak yang ingin
saya sampaikan. Tapi mungkin saya akan mulai (kembali) dari pertama kali
bertemu kalian. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah anak
Manokwari salah satu kabupaten di Papua Barat yang saat ini menjadi ibu kota
provinsi. Singkat cerita setelah menempuh pendidikan dan magang sebentar di
Ibukota Negeri ini, saya pun harus menempuh konsekuensi ikatan dinas untuk mau
ditempatkan dimanapun. Datanglah saya ke kota pala ini, Fakfak. Tepat di
tanggal 2 Desember 2015. Agak berat memang, karena harus meninggalkan orangtua
lagi. Seperti yang kalian tau, walaupun berada dalam satu provinsi jarak antar
kabupaten di Papua tidak bisa ditempuh semudah di dataran jawa. Butuh waktu dan
ya tentu saja biaya yang lebih. Merantau
lagi, akhirnya itu yang saya lakukan sekarang. Di kota ini, kota yang
sebelumnya tidak pernah terbayang akan menjadi tempat saya mencari rezeki
dengan bonus banyak kawan dan saudara baru. Fakfak.
Satu-dua bulan pertama saya
habiskan dengan rutinitas yang membosankan, berhubung belum memiliki rumah
sendiri saya pun harus mau menumpang di rumah salah satu keluarga di kota ini.
Sebagai “orang numpang” tidak etis rasanya kalau saya sering keluar rumah.
Makanya bersabar menjadi pilihan waktu itu, walaupun sebenarnya keinginan
“mencari” begitu besar. Sejak berhasil mewujudkan keinginan saya untuk kuliah
di luar Papua. Keinginan saya untuk mencari banyak hal baru meningkat begitu
saja. Dunia luar yang terlihat baru dan sangat besar dimata saya, anak papua
yang sejak kecil lingkungannya tertutup dalam lingkup itu dan itu saja. Membawa
saya terlalu bersemangat mencari dan mencari terus, akhirnya mengenal dan
bertemu banyak orang hebat di ibukota yang menjadi tujuan banyak orang di
negeri ini. Membawa saya menerima begitu banyak pelajaran. Merantau memang
sebuah cara mencari lebih banyak keajaiban. Dari situ juga saya memulai ritual
pencarian saya disini. Saya mengawali dengan meminta tolong pada kenalan saya
salah satu dari sekian banyak anak Papua yang menjadi inspirasi bagi saya kak
dayu rifanto pendiri gerakan buku untuk papua yang pergerakannya sangat
menakjubkan untuk dicarikan kawan dikota ini, dikenalkanlah saya dengan kak
imanuel tepat di tanggal 7 februari 2015 melalui twitter (saya selalu mengawali
pencarian banyak hal melalui media sosial dengan modal nekat). Perkenalan masih
sebatas say hello, saya menunggu informasi selanjutnya seperti yang dijanjikan.
Sampai pada akhirnya kesempatan untuk tinggal di rumah sendiri pun datang dan
cerita sebenarnya pun dimulai. Tawaran untuk menghadiri pertemuan pun datang
dari kak manu. Saya sedikit terlambat, ternyata pada bulan Januari baru saja
ada perancangan kegiatan kelas inspirasi (waktu itu). Tapi tak masalah, mungkin
memang bukan waktu yang tepat buat saya saat itu. Saya yang memang sangat suka
berorganisasi kembali pada kebiasaan saya yang sok kenal sok akrab dan selalu
nekat. Ketika tawaran dari kak manu datang, tidak peduli saat itu saya tidak
tau dimana letak sanggar pramuka. Tidak peduli saat itu saya tidak mengenal
satu pun orang, selain kak manu yang saya tau itupun hanya dari twitter. Tidak
peduli apa yang saya hadapi disana, yang saya tau saat itu saya harus ikut.
Singkat cerita, saya langsung mengiyakan. Walaupun sempat nyasar karena tukang
ojek nya gak tau dimana itu sanggar pramuka. Haha.. Terlambat juga, karena
pekerjaan kantor yang cukup banyak. Sesampai disana semua berjalan begitu saja,
saya tidak “se-baru” yang saya bayangkan karena ternyata disana juga banyak
yang “baru”. Perkenalan dan sok kenal saya, membawa saya pada sebuah keajaiban
waktu yang lain. Saat itu saya tidak tau persis apa yang sedang dilakukan, apa
yang sedang diomongkan. Semuanya masih abu-abu di kepala saya. Sangat abu-abu.
Sampai saya mengiyakan saja untuk masuk tim MIN kayu merah dan mengikuti
outbound (read: saat itu saya juga tidak punya bayangan dimana itu kayu
merah?). Dengan gambaran kegiatan yang abu-abu, semuanya abu-abu. Saat itu saya
hanya bermodal nekat dan keyakinan ini semua cuma masalah waktu. Bergabunglah
saya.
Cerita keajaiban waktu, dimulai
dari kegiatan outbound. Waktu yang dengan ajaib mempertemukan saya dengan
kalian. Delapan pengajar muda. Salah satu dari banyak keinginan terbesar saya,
menjadi pengajar muda. Saya begitu mencintai dunia mengajar, saya mencintai
anak-anak, saya punya keinginan besar menjadi seorang guru, saya selalu merasa
bahagia ketika bisa mengajar, saya kehilangan makna lelah ketika bisa mengajar.
Tapi banyak hal yang tidak bisa diceritakan disini yang menghalangi saya untuk
menjadi “Guru” dalam status. Kalian tau, apa yang pertama kali saya rasakan
saat bertemu kalian? Saya iri. Sungguh rasa iri yang tiba-tiba muncul begitu
saja. Saya cemburu sama kalian. Kalian yang bisa menjadi pengajar muda, dan
kenapa saya tidak mendapat kesempatan itu? Untung saja itu tidak berlangsung
lama, tidak lama karena semakin saya mengenal kalian saya menyadari satu hal. Mungkin
saya memang tidak di “minta” untuk menjadi pengajar muda seperti kalian karena
saya tidak semampu kalian memegang amanah itu dan Tuhan melalui waktu-Nya yang
ajaib menunjukkan jalan lain yang harus saya lalui. Ada amanah lain yang harus
saya pegang yang ternyata justru mempertemukan saya dengan kalian. Semuanya
masih terasa ajaib, saya tidak pernah menyangka justru bisa berkawan dengan
kalian. Delapan dari banyak orang pilihan. Di kota yang dibayangkan untuk
ditinggali pun tidak pernah. Saya dan kalian mungkin memang tidak akrab,
berkawan seadanya mungkin seperti itu kalau bisa diberi istilah. Tapi diberi
kesempatan mengenal kalian itu sudah hal yang ajaib menurut saya.
Kalau kalian bertanya-tanya kemana arah tujuan
surat ini, lupakan saja. Saya Cuma ingin menuliskan apa yang ada di kepala
saya, mengalir begitu saja. Jika sampai saat ini kalian sudah mulai merasa
bosan membacanya. Berhenti saja. Tidak masalah. J
Tapi jika masih mempunyai waktu menanggapi tulisan saya yang kesana kemari ini.
Mari saya lanjutkan, sedikit lagi.
Saya bukan tipe orang yang mudah
akrab dengan orang lain. Cenderung jutek dan sedikit (dianggap) menyebalkan
dalam berteman. Kurang suka ber-hahahihi, pun juga tergolong orang yang kurang pandai
dalam berkawan. Saya hanya sebatas orang yang suka nekat. Itu sebabnya, saya
tidak bisa cepat akrab. Seakrab yang lain. Walaupun ingin, jujur saja ingin
sekali saya bisa duduk dan mendengar kalian bercerita tentang murid kalian.
Mendengar kalian bercerita dengan ceria tentang uniknya anak didik kalian.
Mendengar kebahagiaan kalian yang bisa diberi kesempatan mengajar di tempat
yang mungkin kalian tidak pernah bayangkan sebelumnya. Mendengar perjuangan
kalian hingga bisa menjadi pengajar muda. Mendengar banyak cerita menakjubkan
dari kalian. Walaupun tentu saja ketika kalian menceritakan itu, saya mungkin
akan iri. Tentu saja. Tapi jangan dipermasalahkan, saya memang seperti itu. J Saya tidak akan
bertanya apapun, karena saya akan setia mendengar dan menyimak apapun cerita
kalian. Sepanjang apapun. Tapi sayangnya waktu tidak mengijinkan itu. Dan saya
pun tidak seberani itu untuk meminta kalian bercerita. Kalian sudah harus
kembali bertemu keluarga yang sangat dirindukan, mengejar kembali cita-cita
yang mungkin sempat tertunda. Waktu yang terlalu singkat bagi saya, walaupun
sebenarnya kalian sudah lama. Mungkin salah saya juga yang tidak pernah
bernyali untuk memulai bertanya. Lupakan saja. Diberi kesempatan untuk mengenal
kalian saja sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.
Kalian akan meninggalkan kota
ini, dan diganti dengan mereka yang akan melanjutkan perjuangan kalian. Saya
mungkin tidak berubah, akan tetap menyimpan iri pada mereka. Mereka yang tidak
salah apa-apa. Haha.. Maafkan saya. Saya iri tidak berarti saya benci, saya
cuma ingin kalian tau walaupun kalian memang mungkin sudah tau. Sebuah anugrah
tersendiri bagi kalian yang diberi kesempatan seperti ini. Banyak orang lain
seperti saya yang cemburu untuk itu. Untuk bagian ini tidak usah dipikirkan.
Saya hanya terlalu mudah terbawa emosi pribadi. Haha.
Saya sebenarnya mau menutup surat
ini, tapi tidak tau bagaimana harus menutupnya. Tapi harus ditutup karena ini
semakin membosankan. Jika kalian menganggap surat ini berlebihan, tidak
masalah. Karena saya memang terlalu sering bertindak berlebihan menurut beberapa
kawan saya. :p Saya hanya susah mengungkapkan secara langsung. Terimakasih
telah datang di kota ini. Terimakasih mau berkawan. Terimakasih untuk banyak
pelajaran baru di waktu yang singkat. Maaf jika selama ini saya terlihat
menyebalkan, seperti kak lidya yang selalu menegur tampang saya yang suka
kehilangan senyum dan terlihat jutek. Saya memang seperti itu kak, bawaan orok
udah default. Haha. :p Tapi hati saya gak jutek kok. :3 Terimakasih untuk
sebuah pertemuan. Tidak usah khawatir tentang perpisahan, karena di setiap
perpisahan akan ada pertemuan lain. Entah dengan kawan yang sama atau dengan
lebih banyak kawan baru. Karena waktu tau persis kapan harus datang dengan
segala keajaibannya. J
Selamat berjuang ditempat lain. Terimakasih.
Fakfak,
Minggu, 15 Juni 2015
@dede_crh