Subscribe:

pulsa

Minggu, 09 Januari 2022

Satu langkah untuk lebih banyak lagi!

Virus itu tiba-tiba datang begitu saja. Tidak seperti hujan yang terkadang memberikan tanda jelas dengan awannya, virus ini meledak dan membuat banyak hal berubah begitu saja.

Awal tahun, merupakan waktu dimana perjalanan dinas adalah hal yang sangat wajar terjadi. Januari, februari, hingga maret. Seperti bersahabat dengan burung besi, aku terbang memulai mempersiapkan pekerjaan di awal 2021. Berkali-kali. Bandara seperti menjadi sahabat. Sorong dan Manokwari adalah destinasi utamanya.

Pertengahan maret, sebuah istilah baru dimulai. Work from home atau bekerja dari rumah. Awalnya aku pikir semuanya hanya sementara. Saat itu aku sedang berdinas di kota kelahiran, saat WFH diterapkan. Memanfaatkan keadaan; walaupun tidak benar untuk dilakukan; meminta izin memanjangkan sedikit waktu untuk bertahan dan berkumpul bersama orangtua.

Siapa yang tau akan seperti ini. Tiba-tiba burung besi tak lagi diizinkan masuk ke kota Pala. Transportasi ditutup total! Saat itu aku senang saja, siapa juga yang tidak senang bisa berkumpul lebih lama dengan keluarga. 

Sampai penghujung maret belum ada kejelasan. Kebosanan mulai melanda, walaupun pekerjaan selalu ada. Tapi menjalani pekerjaan jarak jauh ternyata begitu menyebalkan. Tanganku mulai aktif bergerak di media sosial, beberapa teman baru aku dapat. Termasuk dia. Bagian ceritaku kali ini.

Tidak ada yang aku rasa berbeda, kekosongan dan kebosanan membuatku selalu bertatap pada layar smartphone yang mulai terus meminta penambahan penyimpanan. Hingga pertengahan April, pertemuan itu terjadi. Pertemuan yang menurutku biasa saja. Toh aku sudah sering melakukan ini. Semua berjalan dengan begitu saja. Setidaknya itu menurutku.

Kota Pala masih menutup dirinya, aku dan dia ternyata semakin intens saja berkomunikasi. Pagi, siang, sore, dan malam. Lewat whatsapp, voice call, bahkan pertemuan langsung. Disaat aku bahkan tidak menyadari, sepertinya ada yang berbeda dari sikapnya. Sedikit demi sedikit, obrolan kami mengarah pada hal yang lebih serius dari sekedar pertemanan.

Bulan juni tepatnya, dia memaksa untuk memberikan kejelasan. Mau dibawa kemana perjalanan ini. Sejujurnya saat itu aku belum yakin betul untuk berada dalam sebuah ikatan, tapi sepertinya rasa nyaman itu mulai muncul. Baiklah, akhirnya kuputuskan untuk mengiyakan. Pikirku, jalani saja. Toh, tidak ada yang salah dari pertemuan ini.

Agustus, kota Pala mulai melonggar. Pekerjaan yang selalu ku kerjakan jarak jauh mulai semakin sulit dilakukan, kepala kantor juga sudah memanggil untuk kembali bekerja dikantor. Pandemi? Masih tetap saja terjadi. Akhirnya kuputuskan untuk kembali. Walaupun harus menyambungkan burung besi dan kapal laut. Dia? Ikut mengantarkanku hingga kota transit pertama, kota sorong.

Sembilan agustus malam hari, setelah seharian menghabiskan waktu berdua. Sebuah cincin akhirnya tersemat di jari manis kiriku. Aku resmi dilamar. Tanpa ada orang lain. Hanya kami berdua. Setidaknya itu yang aku rasakan.

Sebelumnya, saat masih terjebak di kota kelahiran. Dia memang telah memberiku begitu banyak pertanda untuk serius, berulang kali. Sudah berapa kali juga ku ajak dia ke rumah, berkenalan secara perlahan pada keluargaku yang ramai riuh. Tahajudku di suatu malam satu saat itu hanya menyelipkan sebuah pertanyaan dan petunjuk-Nya. "Aku tidak mengerti kenapa ini terasa terlalu cepat, tapi jika ini memang jalan-Mu. Tunjukkan perjalanan ini dengan kemudahan. Jika bukan, berikanku pertanda kesulitan."

Akhirnya aku harus benar terpisah. Istilah anak masa kini, menjalani Long Distance Relationship. Menggunakan kapal cepat dari Kota Sorong, aku harus kembali ke Fakfak.

Lalu, momen itu terjadi. Video call masuk. Terlihat dia disana menangis. Iya menangis sesenggukan. Untuk kali pertama aku melihat, seorang lelaki menangis karena aku. Aku hanya menenangkannya dari layar smartphone sambil sedikit tertawa. Lucu dan manis sekali dia.

Kupercepat sedikit cerita LDR ini. Ternyata cukup sulit, tapi tidak sesulit yang aku takutkan. Hingga keputusan dia untuk melamarku resmi ke bapak-ibu maju begitu saja di bulan Oktober. Awalnya dia berniat untuk melakukannya di bulan Desember. Aku berkali-kali bertanya karena sedikit ketakutan. Kamu yakin? "Iya. Sangat yakin. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi." Tegasnya.

Dua oktober malam. Akhirnya keinginannya untuk memintaku pada bapak ibu terlaksana sudah. Kata Ibu, gugup sekali gerak badan dan omongannya. Ah, dari jauh saat itu aku hanya bisa mendo'akan saja sambil menahan kencangnya degup jantung. Ternyata dia serius berani melamarku, bahkan di saat aku tidak ada di sampingnya. Bismillah pertamaku terucap. Ayo kita berjuang.

Persiapan demi persiapan kita lakukan dari jarak jauh. Rapat demi rapat dia ikuti disana bersama keluargaku. Tidak terhitung berapa perdebatan persiapan pernikahan terjadi melalui chat dan video call kami. Oktober terlewati, november terlewati. Desember kuputuskan untuk mengambil cuti. Aku akhirnya kembali ke Manokwari.

Desember akhir, orangtuanya tiba dari kampung. Pertama kalinya aku bertemu secara langsung. Selama ini hanya percakapan singkat melalui sambungan telepon saja. Aku cukup ketakutan saat bertemu, entah segala pikiran buruk menghantuiku. Bagaimana kalau begini? bagaimana kalau begitu? Dia hanya menegurku keras. "Tidak baik berpikiran negatif. Orangtuaku sangat menerimamu, mereka sangat merestui kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita sedang merencanakan hal baik." Ku genggam tangannya. Erat sekali malam itu.

Tiga puluh desember, pertemuan dua keluarga terjadi. Bukan dia namanya kalau tanpa sebuah lupa. Lamaran dan pertemuan kedua keluarga malam itu sempat diawali dengan setumpuk kekesalanku padanya. Untung saja semuanya bisa terlewati. Setidaknya terlihat dari senyumnya yang begitu merekah di sesi foto pada akhir acara.

Hari ini, satu tahun yang lalu. Ijab kabul itu terjadi. Akad nikah dilaksanakan. Dia menangis, dan lagi-lagi aku tidak. Ah, bukan karena aku tidak terharu dan bahagia. Tapi kenyataannya adalah ternyata aku memang bukan wanita yang mudah menangis. Hanya haru didalam dadaku begitu dalam rasanya. Siapa yang menyangka pandemi ini menggenapkan separuh dienku. Statusku berubah, menjadi seorang Istri. Bismillahku terucap kembali.

Rangkaian pernikahan yang sangat sederhana, seperti apa yang selalu aku idamkan. Tanpa perayaan panjang, tanpa tamu yang banyak, tanpa rangkaian yang memusingkan. Mungkin nanti, akan kuceritakan lagi di tulisan lainnya.

Satu tahun perjalanan dilewati, saat ini telah Allah titipkan janin pada rahimku. Sebuah keajaiban lain yang aku alami. Satu hal lagi yang akan merubah kami untuk menjalani kehidupan dengan lebih dewasa. Walaupun mungkin, masih harus terpisah jarak. Tenang saja. Aku yakin, jalan yang dipilihkan oleh-Nya adalah jalan terbaik. Kita jalani saja dengan penuh do'a dan rasa syukur.

Suamiku, terimakasih untuk perjalanan satu tahun ini. Cukup banyak hal sangat pribadi yang akhirnya ku ceritakan padamu. Banyak juga sifat terpendam yang akhirnya kamu tau. Seberapa rapuh dan seberapa kuatnya aku sebenarnya.

Tiga ratus enam puluh lima hari yang kita lewati, yang mungkin bahkan tidak sampai setengahnya kita jalani berdua secara langsung. Layar smartphone-lah yang jadi saksi perjalanan. LDM yang begitu melelahkan ini, semoga menjadi pembelajaran untuk mengikat kita lebih kuat lagi. Mungkin saja suatu saat akan ada badai yang harus kita hadapi, tapi perjalanan awal ini akan menjadi saksi perjuangan kita. Badai apapun akan kita lewati bersama, berdua.

Suamiku, maafkan aku untuk segala hal yang tidak berkenan. Izinkan aku untuk terus belajar, menjadi istri yang mencari Ridho Allah melalui dirimu. Bantu aku, bimbing aku, genggam aku. Semoga kita tidak pernah lelah untuk terus belajar.

Ayo, kita bersiap untuk perjalanan baru. Bersama buah hati yang sedikit lagi akan Allah hadirkan mengisi keluarga kecil kita. Semoga Allah berkahi pernikahan kita. Kesehatan dan kebahagian bersama kita. Bismillahku yang kesekian kalinya. Alhamdulillah yang tidak ada habisnya.

Untuk suamiku,

I LOVE YOU. ❤