Subscribe:

pulsa

Senin, 02 Februari 2015

Surat panjang membosankan untuk kamu

Sebelum kamu membaca surat ini, dari awal aku ingin memperingatkanmu kalau ini mungkin akan menjadi surat terpanjang dan membosankan yang pernah aku tulis dibulan ini. Jadi kalau kau sedang jengah untuk membaca ocehan panjang, berhenti saja meneruskan; aku tidak apa apa. Aku hanya ingin meneruskan surat ini. Mungkin saja ada yang lain yang berminat membacakannya untuk diceritakan padamu, dengan lebih menarik. Semoga.
Pagi ini terasa sedikit berbeda. Semalam aku sibuk, sibuk sekali. Setidaknya yang paling sibuk diantara hari-hariku semenjak kembali pulang dikota ini; Manokwari. Menyetrika baju-baju, mengumpulkan berkas-berkas yang mungkin aku butuhkan, memilah milih koleksi buku yang akan menemani perjalanan, menyebarkan uang di semua kantong penyimpanan yang aku punya sesuai saran dari bapak karena kata beliau "biar susah diambil maling dan kalaupun salah satu tempat diambil kamu masih punya yang lain" -pemikiran yang unik- dan tentu saja sibuk memanggil ibu saya meminta tolong dibuatkan ini dan itu termasuk menanyakan koper mana yang bisa aku pakai.
Senin pagi, satu desember. 2014. Tidak ada fikiran apapun ketika berangkat kantor seperti biasa, dengan menggunakan seragam abu-abu dan motor yang tanpa sengaja senada dengan warna bajuku. Sampai dikantor biasa saja, setelah absen pagi aku dan pegawai lainnya sempat mengikuti upacara; hari korpri katanya. Pagi itu, kepala kantor kami akhirnya datang juga. Kepala kantor yang dari beberapa hari lalu aku dan dua kawanku menunggu. Kami memang harusnya sudah menuju kabupaten penempatan masing-masing sejak 18 november tapi beliau menahan kami di provinsi, dengan alasan yang tidak terlalu aku pahami. Singkat saja, sore itu setelah menunggu sekitar tiga per delapan hari -rajin sekali aku menghitung- akhirnya kami dipanggil juga. Tidak ada fikiran apapun saat itu, walaupun dalam hati ingin sebuah kejelasan tentu saja. Menjelang waktu absen pulang, kami bertiga didudukkan di ruang kepala berbasa-basi sebentar dan kemudian bapak kepala yang kami tunggu beberapa hari yang lalu memerintahkan untuk segera mencari tiket pesawat ke kabupaten. Ya, secepat itu. Oh, maaf ralat; hanya aku lebih tepatnya yang menggunakan armada burung terbang itu karena dua kawanku bisa menempuh jalur darat untuk sampai di kabupaten mereka. Aku seketika panik, entah apa yang ada dalam fikiranku waktu itu. Sudahlah bagian ini tidak ingin saya ceritakan lebih lengkap, toh mungkin kamu sudah mulai jengah dengan surat ini. Aku hanya ingin memberitahukanmu, pada saat itu kami diminta untuk segera meninggalkan kota ini secepat mungkin. Di hari dimana aku tidak merencanakan apapun, apalagi merencanakan untuk terbang keesokan harinya.
Dua desember tahun yang sama. Satu koper, satu ransel di pundak dan satu karton berisi sepatu dan beberapa buku. Pagi itu hujan, semua orang di rumah sudah berangkat menuju tempat kerja; kecuali bapakku. Tapi tenang saja, aku sudah minta ijin dan mengecup pipi mereka. Walaupun tidak berhasil mengecup pipi keponakan, karena sepertinya dia marah karena harus ditinggal lagi oleh tantenya ini. Maaf sayang.
Tidak ada yang bisa mengantar pagi ini, seperti tidak terjadi apa-apa. Ya, mungkin karena memang mereka semua sedang sibuk dan aku toh tidak keberatan. Pagi itu bersama tukang ojek langganan sepupuku berangkatlah kami ke bandara. Diiringi gerimis, yang ah terdengar romantis kalau saja saya tidak dengan bapak tukang ojek itu. Haha.
Bandara rendani cukup sibuk, mungkin tidak memperhatikan aku yang berjalan sendirian di dalamnya. Tak apa, aku memang tidak ingin jadi pusat perhatian. Setelah mengurus check in keberangkatan dan membeli sedikit abon gulung, ruang tunggu lantai 2 jadi tujuan saya berikutnya. Satu ransel dan satu karton tentengan yang gagal saya masukkan ke bagasi. "Pegang saja mbak" kata mereka, ah sudahlah. Ini kali ke dua aku berangkat dari lantai 2 bandara ini. Ya, rendani sedang berbenah. Setelah beberapa kali tetap saja dipalang.
Tidak butuh waktu lama aku menunggu pesawat datang, hanya sekitar dua atau tiga lagu yang berputar di telinga. Express air akan mengantar perjalanan kali ini. Semoga cuaca sedang baik, itu saja do'aku. Bismillah.
Aku tidak ingat persis berapa lama pesawat itu terbang. Aku lebih ingat bagaimana pesawat itu terbang dari bandara di sorong menuju kamu. Baru kali itu aku memperhatikan betul perjalanan diatas pesawat. Duduk di seat depan sebelah kiri samping jendela, membuat kepala terlintas banyak hayalan. Aku selalu menyukai hayalan liar seperti itu. Lepas begitu saja. Menyenangkan.
Bandara torea menyambut kali ini, baru pertama kali kaki ini menginjakkan tapaknya di tempat ini. Terasa hangat. Aku langsung saja sibuk dengan smartphone ditanganku, mengirimkan beberapa sms ke setiap orang di rumahku dan satu sms pada seorang kakak yang bersedia menjemputku. Akhirnya aku ada di kotamu. Kamu yang diberi julukan sebagai kota pala karena banyaknya pohon pala yang tumbuh di tanahmu. Sungguh ajaib memang jalan yang diciptakanNya, siapa menyangka kaki ini akan berada di kamu.
Dua februari tahun yang baru. 2015. Kata orang waktu memang sering tidak terasa sedang berlari. Tapi untuk saat ini aku tidak merasa dia sedang berlari. Aku menikmati setiap langkah yang dilewatkan waktu di tanahmu. Kamu, yang mungkin akan segera aku anggap sebagai rumah ketigaku. Setelah manokwari dan Jakarta. Ya, kamu. Kota Fakfak. Hari ini, tepat sudah dua bulan aku mengais rejeki di atasmu. Tepat dua bulan sudah aku mulai merindu pada kotaku.
Kamu yang saat ini bosan dengan suratku. Terimakasih untuk dua bulan bersamamu yang telah berlalu. Aku masih ingin mendapat banyak hal. Banyak kawan. Banyak pelajaran. Ajari aku. Aku siap berjalan bahkan berlari untuk membuat kisah bersamamu.
Untuk kamu, Kota Fakfak.
Dari salah satu gedung kantor di jl. Dprd Fakfak, 2 februari 2015
@dede_crh
@PosCinta @MungareMike