Subscribe:

pulsa

Sabtu, 14 Februari 2015

just say, just it!

"Hai kang pos tersayang, tolong jangan sampaikan surat ini pada yang bersangkutan."

Apa kabar kak? Aku masih saja sibuk mencari namamu di mesin pencari dunia maya. Aku juga masih saja sibuk membuka halaman facebookmu tanpa mau menekan tombol "add as friend", karena aku memang tidak mau menganggapmu hanya sebagai teman. Aku juga masih tetap menggunakan namamu di banyak akunku, mungkin karena itu yang berhasil aku hafal benar. Hanya saja aku tidak menyimpan fotomu karena aku begitu takut ada yang melihatmu tersimpan di dompetku.

Kak, aku tidak tau kenapa akhirnya aku memberanikan diri menuliskan ini untuk kakak. Setelah selama ini aku hanya bisa mengelak dan menghindar ketika segalanya di sekitarku mulai mengarah padamu. Aku takut kak. Entah kenapa aku takut. Tapi aku rasa, tidak lagi.

Kak, apa kabarmu? Bagaimana pekerjaanmu? Sepertinya terlihat seru. Kau selalu menuliskan detil yang aku tidak mengerti sama sekali. Tapi aku rasa tidak butuh untuk mengerti, toh aku hanya senang mengamati. Sebatas itu. Masih sibuk dengan berita politik? Aku ternyata tidak sepenuhnya mengenal kakak, bahkan setelah lebih dari satu dekade. Aku baru tau kalau ternyata kakak juga mengikuti begitu intens tentang politik yang membosankan, itupun karena status di akun facebookmu. Sebelumnya aku berharap bisa mengetahui kabar keseharianmu, siapa kawanmu, dimana kau tinggal, dan sedikit foto terbaru dari facebookmu. Aku ingin tau keadaanmu. Tapi tak apa, aku cukup senang; sangat senang; ketika berhasil menemukanmu di beranda facebook. Setidaknya rindu saat itu menemukan obatnya.

Kak, kamu masih saja rajin. Pintar. Banyak orang yang senang padamu. Masih sama seperti beberapa tahun lalu waktu aku memperhatikan kamu tanpa kamu ketahui. Masih sama seperti kamu yang aku jatuh cintai pertama kali. Masih sama seperti kamu yang aku perhatikan untuk waktu yang terlalu lama.

Kak, mengingat kamu selalu memutar kembali cerita ke-gugup-an masa lalu. Aku yang terlalu polos. Aku yang terlalu kekanakan untuk bersikap. Tapi aku masih ingat dengan persis kak, setiap momen bodohku ketika berhasil berhadapan dengan kakak. Tidak banyak kak, hanya beberapa pertemuan tidak sengaja dan tiga percakapan bodoh. Bukan kakak, hanya aku saja yang lugu. Aku yang terlalu gugup dihadapan kakak. Entah racun apa yang kakak bawa kemana-mana. Terlalu besar dosisnya.

Kak, aku jatuh pertama kali di waktu yang mungkin terlalu muda untuk layak merasa berdegup. Aku yang tidak tau apa-apa tentang rasa. Aku yang bahkan saat itu tak tau bagaimana cara menggunakan jilbab dengan rapi. Terlalu cepat. Kakak datang terlalu cepat, atau aku yang terlalu cepat mendekat? Di tempat itu, ketika pertama kali aku sadar ada yang berbeda dari hanya melihat punggung kakak. Dari situ semua bermula.

Kak, aku tidak akan menceritakan dengan persis berapa lama kakak berhasil menjadi candu di aliran darahku. Aku tidak mau mereka membaca dan menyampaikan ini pada kakak. Aku malu. Aku tidak mau. Aku hanya mau kakak tau dengan cara kakak sendiri bagaimana aku bisa menuliskan ini pada kakak. Terserah saja bagaimana cara kakak sampai di tulisan ini. Aku tidak akan memaksa, jikalau kakak memang tidak berhasil menemukan ini. Biarkan saja. Toh, aku sudah melewati ini lebih dari satu dekade. Menjaga sendiri.

Kak, sebenarnya ini bukan tulisan pertama yang aku tulis tentang kakak. Diantara segala yang tersebar selama ini. Selalu ada selipan surat kecil untuk kakak. Kalau saja kakak membaca. Kalaupun tidak, tidak mengapa. Aku baik-baik saja.

Ya, saat ini aku sudah baik-baik saja. Satu kalimat panjang di akunmu waktu itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Segala yang tertahan selama lebih dari satu dekade. Sudah cukup untuk mengubah yang seharusnya diubah sejak lama. Seandainya kakak melakukan itu sejak lama. Dan seandainya aku menemukan itu sebelumnya.

Kak, tidak usah merasa bersalah kalau tiba-tiba kakak membaca ini dan merasa bersalah. Jika tidak, ya sudah.

Kak, aku tau aku belum sepenuhnya membersihkan racunmu di aliran darahku. Masih bersisa sebagian yang tetap saja mengalir. Mungkin karena racunmu masuk sudah terlalu lama. Terlalu lama. Sampai-sampai aku lupa cara menetralkannya kembali.

Kak, aku saat ini masih takut jikalau harus bertemu lagi dengan ragamu. Walau jujur saja aku memang rindu. Aku takut candu dalam darahku kembali membelah diri. Aku tidak mau. Sungguh. Segalanya ingin aku bersihkan segera. Tidak untuk racun yang sama.

Kak, aku mau meminta ijin padamu. Walau mungkin kakak tidak akan pernah mengerti ini. Karena tak pernah sekalipun ada pertemuan khusus diantara kita. Tak apa, aku hanya meminta ijin untuk tetap memelihara namamu. Anggap saja sebagai bentuk tanggungjawabmu yang terlalu lama berdiam diri. Aku minta ijin untuk ini, sampai aku menemukan nama baru nanti. Secepat yang aku bisa.

Kak, ketika nanti suatu saat nama baru itu berhasil aku suntikkan di darahku. Jangan marah padaku jika aku masih harus memanggil namamu, atau jangan marah jika aku lupa akan namamu. Karena saat ini, sebelum nama baru itu berhasil aku dapatkan. Aku tidak mampu untuk menerka apa yang sanggup aku lakukan nanti. Pun ketika namamu seharusnya memang aku lupakan. Aku tidak mampu berjanji apapun.

Kak, maafkan aku yang membuat kakak bingung dengan surat ini. Semoga kakak selalu diberikan kesehatan. Dimanapun kakak saat ini. Aku rasa, lebih baik aku sudahi saja surat cinta hari ini. Terimakasih kak.


-Kepada yang tidak boleh aku sebutkan namanya-

Fakfak, 14 februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta
"Just Say It!"
Hari ke-16

@dede_crh

@PosCinta @MungareMike